A. Pengertian
Interaksi Sosial
Interaksi sosial
ialah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu
dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya
hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.
Di dalam
interaksi sosial ada kemungkinan individu dapat menyesuaikan dengan yang lain,
atau sebaliknya. Pengertian penyesuaian di sini dalam arti luas, yaitu bahwa
individu dapat meleburkan diri dengan keadaan di sekitarnya, atau sebaliknya
individu dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan dalam diri individu,
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh individu yang bersangkutan.
Antara
lingkungan dan individu terjadi interaksi satu dengan yang lainnya, sehingga
perilaku individu tidak dapat lepas dari lingkungan, dan keadaan ini di
formulasikan sebagai B = f(O → E).
Formulasi lain
yang dikemukakan oleh Bandura (1977) memberikan gambaran lebih jelas tentang
hubungan antara individu dengan lingkungannya dan individu dengan dirinya
sendiri. Formulasi ini memberikan pengertian bahwa perilaku seseorang akan
dapat mempengaruhi lingkungannya, tetapi juga dapat mempengaruhi individu yang
bersangkutan. Dalam interaksi sosial formulasi ini mempunyai arti yang lebih
bermakna dari pada formulasi yang terdahulu. Formulasi B = f(O → E) hanya
memandang tentang timbulnya atau corak dari perilaku itu, sedangkan formulasi
Bandura menunjukkan bagaimana peran perilaku terhadap lingkungan dan dirinya
sendiri. Dengan demikian dalam memandang perilaku dalam interaksi sosial tidak
lagi unidirectional tetapi bidirectional dalam arti bahwa perilaku
juga dapat sebagai interactional
determinant.
Interaksi yang
kelihatannya sangat sederhana, sebenarnya merupakan suatu proses yang cukup kompleks.
Memang kalau dilihat dari teori insting yang dikemukakan oleh McDougall (lih.
Baron dan Byrne,1984), manusia itu secara instingtif akan berhubungan satu
dengan yang lain (lih. Crider, dkk. 1983). Namun perilaku dalam interaksi sosial
tidak sesederhana itu, tetapi perilaku itu didasari oleh berbagai faktor
psikologis lain. Seperti dikemukakan oleh Floyd Allport (lih. Baron dan Byrne,
1984) bahwa perilaku dalam interaksi sosial ditentukan oleh banyak factor
termasuk manusia lain yang ada disekitarnya dengan perilakunya yang spesifik.
Walaupun demikian tentang faktor yang mendasari perilaku dalam interaksi sosial
di antara para ahli belum terdapat kata yang menyatu.
B. Faktor
Imitasi
Seperti
yang dikemukakan oleh G. Tarde (lih. Gerungan, 1966) faktor yang mendasari
interaksi adalah faktor imitasi. Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang
lain. Menurut Tarde faktor imitasi ini merupakan satu-satunya faktor yang
mendasari atau melandasi interaksi sosial. Seperti yang dikemukakan oleh
Gerungan (1966:36).
“Menurut
Tarde, masyarakat itu tiada lain dari pengelomokan manusia dimana
individu-individu yang satu mengimitasikan dari yang lain dan sebaliknya;
bahkan masyarakat itu baru menjadi masyarakat sebenarnya apabila manusia mulai
mengimitasi kegiatan manusia lain. Kata Tarde: Ia societe e’est I’ imitation”.
Terhadap
pendapat Tarde ini sukarlah orang dapat menerima seluruhnya. Memang faktor
imitasi mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat atau
interaksi sosial, namun demikian interaksi bukanlah merupakan satu-satunya
faktor yang mendasari interaksi sosial. Imitasi tidaklah berlangsung dengan
sendirinya, sehingga individu yang satu akan dengan sendirinya mengimitasi
individu yang lain, demikian sebaliknya. Untuk mengadakan imitasi atau meniru
ada faktor psikologis yang berperan. Dengan kata lain imitasi tidak berlangsung
secara otomatis, tetapi ada faktor lain yang ikut berperan, sehingga seseorang
mengadakan imitasi. Bagaimana orang dapat mengimitasi sesuatu kalau seseorang
yang bersangkutan tidak mempunyai sikap menerima terhadap apa yang diimitasi
itu. Dengan demikian untuk mengimitasi sesuatu perlu adanya sikap menerima, dan
sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu, karena imitasi itu tidak
berlangsung dengan sendirinya.
Tetapi
disamping itu diakui juga bahwa faktor imitasi itu memang mempunyai peran dalam
interaksi sosial. Misal dalam perkembangan bahasa, akan berlaku faktor imitasi ini. Apa yang diucapkan anak,
anak akan mengimitasikan dari keadaan sekelilingnya. Anak mengimitasi apa yang
didengarnya, yang kemudian menyampaikan kepada orang lain, sehingga dengan
demikian berkembanglah bahasa anak itu sebagai alat komunikasi dalam interaksi
sosial. Demikian pula dalam perilaku, mode-mode dan sebagainya, imitasi banyak
memegang peranan. Bila diobservasi, mode-mode yang melanda masyarakat, adalah
karena faktor imitasi.
C. Faktor
Sugesti
Yang dimaksud
dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri,
maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya
kritik dari individu yang bersangkutan. Karena itu sugesti dapat dibedakan (1)
auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri sendiri, sugesti yang datang dari dalam
diri individu yang bersangkutan, dan (2) hetero-sugesti, yaitu sugesti yang
datang dari orang lain.
Baik
auto-sugesti maupun hetero-sugesti dalam kehidupan sehari-hari memegang peranan
yang penting. Banyak hal yang tidak diharapkan oleh individu disebabkan baik
karena auto-sugesti maupun hetero-sugesti. Misal seseorang sering merasa
sakit-sakit saja, walaunpun secara objektif yang bersangkutan dalam keadaan
sehat-sehat saja. Tetapi karena auto-sugesti orang tersebut merasa tidak dalam
keadaan sehat, dan masih banyak lagi contoh yang dapat diangkat sebagai
gambaran peranan auto-sugesti dalam kehidupan seseorang. Dalam lapangan psikologi
sosial peranan hetero-sugesti lebih menonjol bila dibandingkan dengan auto-sugesti.
Dalam kehidupan sosial banyak individu menerima sesuatu cara, pedoman,
pandangan, norma, dan sebagainya dari orang lain tanpa adanya kritik terlebih
dahulu terhadap apa yang diterima itu. Misal dalam bidang perdagangan, orang
memprogandakan dagangannya sedemikian rupa, hingga tanpa berfikir lebih lanjut
orang termakan propaganda itu, dan menerima saja apa yang diajukan oleh
pedagang yang bersangkutan. Keadaan semacam ini banyak dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.
Peranan sugesti
dan imitasi dalam interaksi sosial hampir sama satu dengan yang lain, namun
sebenarnya keduanya berbeda. Dalam hal imitasi orang yang mengimitasi
keadaannya aktif, sedangkan yang diimitasi adalah pasif, dalam arti bahwa yang
diimitasi tidak dengan aktif memberikan apa yang diperbuatnya. Apakah orang
lain akan mengimitasi atau tidak, hal tersebut tidak menjadi masalahnya. Hal
itu tidak demikian dalam sugesti. Dalam sugesti orang dengan sengaja, dengan
secara aktif memberikan pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, norma-norma dan
sebagainya agar orang lain dapat menerima apa yang diberikan itu. Jadi di sini
apa yang dituju atau apa yang dikehendaki itu telah jelas, yaitu agar orang
lain dapat menerima apa yang diberikannya, hal ini berbeda dengan apa yang
terjadi dalam imitasi. Seperti apa yang dikemukakan oleh penjual obat di tepi
jalan misalnya, yaitu dengan maksud agar orang-orang yang mendengarkan
obrolannya pada akhirnya akan membeli obat yang ditawarkan tersebut. Hal
semacam ini juga akan didapati dalam
bidang-bidang lain, sehingga persoalan yang timbul ialah bagaimana agar orang
dapat dengan mudah menerima sugesti. Hal ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
·
Sugesti akan mudah diterima oleh orang
lain, bila daya berpikir kritisnya dihambat
Seperti telah dipaparkan di depan
sugesti itu akan diterima oleh orang lain tanpa adanya kritik terlebih dahulu.
Karena itu bila orang masih dapat berpikir secara baik, masih dapat berpikir
secara kritis, orang tersebut akan sulit menerima sugesti dari pihak lain.
Makin kurang daya kritisnya, akan makin mudah orang menerima sugesti dari pihak
lain. Daya berpikir kritis ini akan terhambat bila orang terkena stimulus yang
bersifat emosional, dan juga kalau orang dalam keadaan lelah baik fisik maupun
psikologis. Misal orang yang telah berjam-jam rapat, ia sudah lelah baik fisik
maupun psikologis, adanya keengganan untuk berpikir secara berat, sehingga
biasanya dalam keadaan yang demikian orang akan mudah menerima pendapat, pandangan
dari pihak lain, atau dengan kata lain orang yang bersangkutan akan mudah
menerima sugesti dari pihak lain.
Bagaimana peranan stimulus yang bersifat
emosional akan menghambat proses berpikir secara kritis, dapat digambarkan oleh
Denis de Rougemont berikut ini.
”Hampir
empat kali enam puluh menit lamanya saya telah berdiri tegak, terjepit,
tertopang oleh lautan manusia. Akan terbalaslah jerih payah saya? Tetapi
sekonyong-konyong berkumandang diluar tiupan beratus-ratus selompret.
Lampu-lampu listrik dalam ruangan rapat padam dengan serentak, sedangkan dari
atas menyorot beberapa biasan cahaya kearah sebuah pintu yang sama tinggi
letaknya dengan serambi tempat duduk
yang dibawah sekali.
………………………………………………………………………………
semuanya
berdiri seperti patung, tak bergerak sedikit juga, mereka berteriak
bersama-sama secara berirama dan mengarahkan mata kepada titik cahaya, kepada
wajah yang tersenyum berseri-seri itu; maka bercucurlah air mata orang-orang
itu dalam gelap.
………………………………………………………………………………
Perasaan
saya pada ketika itu ialah apa yang dinamakan orang kekaguman yang mempesona
(lih. Balai Pendidikan Guru, t.t.).
Pada umumnya apabila orang terkena
stimulus yang emosional (misal stimulus dari orang peminta-minta yang pada
umumnya bersifat emosional), orang tidak dapat lagi berpikir secara jernih, secara
kritis, hingga akhirnya orang akan mudah menerima apa yang dikemukakan oleh
orang lain, atau dengan kata lain orang akan mudah terkena sugesti.
·
Sugesti akan mudah diterima oleh orang
lain, bila kemampuan berpikirnya terpecah-belah (dissosiasi)
Orang
akan mudah terkena sugesti dari pihak lain apabila kemampuan berpikirnya terpecah-belah
atau mengalami dissosiasi. Orang mengalami dissosiasi bila orang itu dalam
keadaan kebingungan, karena menghadapi berbagai-bagai macam masalah. Orang yang
sedang dalam kebingungan pada umumnya akan mudah menerima apa yang dikemukakan oleh
pihak lain tanpa berpikir lebih jauh terlebih dahulu. Secara psikologis orang
yang sedang dalam keadaan kebingungan, orang akan mencari pegangan untuk
mengakhiri rasa kebingungannya tersebut. Apa yang dikemukakan oleh orang lain, akan
mudah di ambil sebagai langkah untuk mengakhiri
rasa kebingungannya, tanpa pemikiran yang lebih jauh. Selama individu
dalam kebingungan, selama itu pula keadaan jiwanya tidak tenteram. Karena itu
kalau dalam masyarakat terjadi kebingungan, keadaan ini akan memberikan peluang
yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang akan memberikan sugesti mengenai
sesuatu pandangan, pendapat, norma ataupun hal-hal yang lain.
·
Sugesti akan mudah diterima oleh orang
lain, bila materinya mendapatkan dukungan orang banyak (sugesti mayoritas)
Dalam hal ini orang akan mempunyai
kecenderungan untuk menerima sesuatu pandangan, pendapat, norma, dan
sebagainya, apabila pandangan, pendapat ataupun norma tersebut telah
mendapatkan dukungan orang banyak atau mayoritas, yaitu sebagian besar kelompok
atau golongan memberikan sokongan atas pandangan, pendapat atau norma tersebut.
Orang akan merasa terasing bila ia menolak pandangan, pendapat, ataupun norma
yang telah didukung oleh orang banyak atau oleh mayoritas. Orang
berkecenderungan oleh karena sebagian besar anggota telah memberikan dukungan
atau telah menerima, maka orang akan terasing atau tersingkir dari mayoritas
bila tidak ikut menerimanya.
·
Sugesti akan mudah diterima oleh
lain,apabila yang memberikan materin itu orang yang mempunyai otoritas.
Walaupun materi yang diberikan itu sama,
tetapi kalau yang memberikan itu berbeda, maka akan terdapat perbedaan dalam penerimaan
atas materi yang bersangkutan. Dalam hal ini orang mempunyai kecenderungan akan
mudah menerima sesuatu yang dikemukakan oleh orang lain apabila yang memberikan
itu adalah orang yang mempunyai otoritas dalam bidangnya. Hal yang demikian ini
akan menimbulkan rasa percaya bahwa apa yang diberikan itu memang benar, karena
memang menjadi bidangnya, sehingga hal ini menimbulkan sikap penerimaan atas
pendapat tersebut, dan pendapat yang dikemukakan itu pasti mengandung
kebaikan-kebaikan atau kebenaran-kebenaran. Misal materi yang dikemukakan sama,
tetapi yang satu dikemukakan oleh orang yang tidak mempunyai otoritas dalam
bidangnya (misal seorang juru tulis), sedangkan yang lain diberikan oleh Bupati
Kepala Daerah, maka dalam penerimaan atas materi tersebut jelas akan berbeda.
Contoh lain, misal materi yang diberikan sama, tetapi yang memberikan teman
pasien sendiri, sedangkan yang lain diberikan oleh seorang dokter, maka
penerimaannya akan berbeda. Karenanya langkah yang praktis apabila akan
memberikan sesuatu dengan maksud agar yang diberikan itu dapat mudah diterima
oleh orang lain, maka orang yang memberikan sebaiknya mempunyai otoritas dalam
bidang yang diberikan itu.
·
Sugesti akan mudah diterima oleh orang
lain, apabila pada orang yang bersangkutan telah ada pendapat yang mendahului
yang searah
Bila dalam diri
individu telah ada pendapat yang mendahului dan pendapat ini masih dalam
keadaan samar-samar dan pendapat tersebut searah dengan yang disugestikan, maka
pada umunya orang akan mudah menerima pendapat yang disugestikan tersebut,
karena yang disugestikan itu akan lebih meyakinkan tentang pendapat yang
mendahuluinya. Orang yang dalam keadaan ragu-ragu akan mudah menerima sugesti
yang diberikan oleh pihak lain yang akan menghilangkan rasa keragu-raguannya.
Contoh: orang mempunyai pendapat bahwa minyak angin cap PPO merupakan minyak
angin yang cukup baik bila dibandingkan dengan minyak angin yang lain. Tetapi
pendapat ini masih merupakan pendapat yang samar-samar. Tiap hari orang
tersebut mendengar iklan melalui radio bahwa minyak angin cap PPO merupakan
minyak angin yang terbaik. Apa yang dikemukakan itu akan mudah diterima oleh
orang yang bersangkutan, karena apa yang dikemukakan itu seakan-akan
membenarkan pendapatnya dan lebih meyakinkan akan pendapat bahwa minyak angin
cap PPO memang minyak angin yang terbaik. Apa yang didengarnya itu lebih
meyakinkan akan pendapatnya yang mendahuluinya.
D. Faktor
Identifikasi
Faktor lain yang
memegang peranan dalam interaksi sosial ialah faktor identifikasi. Identifikasi
adalah suatu istilah yang dikemukakan oleh Freud, seorang tokoh dalam
psikologi, khusunya dalam psikoanalisis. Identifikasi merupakan dorongan untuk
menjadi identik (sama) dengan orang lain. Sehubungan dengan identifikasi ini
Freud menjelaskan bagaimana anak mempelajari norma-norma sosial dari orang
tuanya. Dalam garis besar hal ini dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu:
·
Anak mempelajari dan menerima norma-norma
sosial itu karena orang tua dengan sengaja mendidiknya. Orang tua dengan sengaja
menanamkan norma-norma sosial kepada anak, bahwa ini baik, dan ini tidak baik, ini
perlu dikerjakan, dan itu perlu ditinggalkan, dan sebagainya. Orang tua
menghargai perilaku yang baik, dan mencela perbuatan yang tidak baik. Orang tua
dengan sengaja menanamkan mana-mana perbuatan yang harus dilaksanakan, dan
mana-mana perbuatan yang perlu ditinggalkan. Dengan jalan demikian akan tertanamlah
norma-norma sosial pada anak.
·
Kesadaran akan norma-norma sosial juga
dapat diperoleh anak dengan jalan
identifikasi, yaitu anak mengidentifikasikan diri pada orang tua, baik
pada ibu maupun ada ayah. Karena itu kedudukan orang tua sangat penting sebagai
tempat identifikasi dari anak-anaknya.
Di
dalam identifikasi anak akan mengambil oper sikap-sikap ataupun norma-norma
dari orang tuanya yang dijadikan tempat identifikasi itu. Dalam proses
identifikasi ini seluruh norma-norma, cita-cita, sikap dan sebagainya dari
orang tua sadapat mungkin dijadikan norma-norma, sikap-sikap dan sebagainya itu
dari anak sendiri, dan anak menggunakan hal tersebut dalam perilaku
sehari-hari. Kedudukan orang tua dalam keluarga adalah sangat penting, karena
segala sesuatu yang diperbuat oleh orang tua akan dijadikan tauladan bagi
anak-anaknya. Sesuai dengan perkembangan anak, mula-mula anak
mengidentifikasikan diri pada orang tuanya, tetapi kemudian setelah anak masuk
sekolah, tempat identifikasi dapat beralih dari orang tua kepada gurunya atau
kepada orang lain yang dianggapnya bernilai tinggi dan yang dihormatinya.
Identifikasi ini dilakukan oleh anak kepada
orang lain yang dianggap ideal dalam sesuatu segi, baik itu norma-normanya,
sikap-sikapnya ataupun segi-segi yang lain, yang nilainya dianggap ideal dan
ini masih kurang pada anak atau pada individu yang bersangkutan. Masa
perkembangan dimana anak atau individu paling banyak melakukan identifikasi
kepada orang lain ialah pada masa remaja. Dalam masa ini individu melepaskan
identifikasinya dengan orang tua dan mencari norma-norma sosial sendiri. Karena
itu dalam masa remaja banyak anak mencari tempat identifikasi pada orang-orang
dalam masyarakat yang dianggapnya ideal bagi yang bersangkutan. Hal ini perlu
disadari terutama bagi para pemimpin dalam masyarakat. Salah satu faktor yang
menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan dari masyarakat pada remaja, antara
lain karena kurang adanya tempat identifikasi bagi para remaja, kurang adanya
figur-figur dalam masyarakat yang dipandang ideal bagi para remaja.
E. Faktor
Simpati
Selain faktor-faktor
tersebut di atas faktor simpati juga memegang peranan dalam interaksi sosial.
Simpati merupakan perasaan rasa tertarik kepada orang lain. Oleh karena simpati
merupakan perasaan, maka simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan
atas dasar perasaan atau emosi. Dalam simpati orang merasa tertarik kepada
orang lain yang seakan-akan berlangsung dengan sendirinya, apa sebabnya merasa
tertarik sering tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut. Disamping
individu mempunyai kecenderungan tertarik pada orang lain, individu juga
mempunyai kecenderungan untuk menolak orang lain, ini yang sering disebut
antipati. Jadi kalau simpati itu bersifat positif, maka antipati bersifat
negatif.
Dalam antipati
individu menunjukan adanya rasa penolakan pada orang lain. Simpati berkembang
dalam hubungan individu satu dengan individu yang lain, demikian pula antipati.
Dengan timbulnya simpati, akan terjalin saling pengertian yang mendalam antara
individu satu dengan individu yang lain. Dengan demikian maka interaksi sosial
yang bedasarkan atas simpati akan jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan
interaksi baik atas dasar sugesti maupun imitasi.